Sejarah ‘Iedain (عيدين)
Yang dimaksud adalah dua hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adh-ha. Tidak ada hari raya lain dalam Islam yang disyariatkan kecuali dua hari raya tersebut. Pada hari raya itu umat Islam diwajibkan mendirikan shalat, yang dinamakan shalat ‘Ied.
Shalat ‘Ied ini di syariatkan pada tahun kedua Hijriah di Madinah. Jauh sebelum Rasulullah saw. tiba di Madinah, penduduk Madinah mempunyai dua macam hari raya yang terkenal dengan nama an Nairuz (النيرز) dan al Mahrajan (المحرجان).
An Nairuz adalah hari pertama awal tahun yang dihitung berdasarkan peredaran matahari. Sedangkan al Mahrajan adalah hari bertepatan dengan munculnya bintang al Mizan (Libra), pada hari tersebut udara sangat sejuk, suhu udara sedang, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin; panjangnya malam sama dengan panjang siang harinya.
Para ahli falak waktu itu menetapkan bahwa dua hari tersebut dijadikan hari raya, untuk bersenang-senang, bermain, bergembira, dengan berbagai acara hiburan, pesta pora dan sebagainya. Adat ini berlangsung terus turun-temurun sampai datangnya Islam. Kemudian adat ini tidak dihilangkan, tetapi diganti yang lebih baik, yaitu dengan Iedul Fithri dan Iedul Adh-ha, sebagaimana diterangkan dalam hadits Anas bin Malik sebagai berikut :
قدم رسول الله ص م. المدينة ولـهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان؟ قيل : كنا نلعب فيهما فى الجاهلية فقال رسول الله ص م. إن الله قد أبد لكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر. (اخرجه ابوداود والنسائ)
“Tatkala Rasulullah saw. datang di Madinah, saat itu penduduk Madinah mempunyai dua hari raya, mereka bermain-bergembira dengan berbagai permainan dan hiburan – pada hari tersebut. Kemudian Rasulullah saw. bertanya : “Hari apakah yang dua hari itu ?” mereka (penduduk) menjawab “Adalah kami di zaman Jahiliyah bermain bergembira ria di hari itu.” Maka Rasulullah saw. bersabda : “Allah telah mengganti dua hari raya itu bagimu dengan yang lebih baik daripada keduanya, yaitu dengan Iedul Adha dan Iedul Fithri.” Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan An Nasaai.
(al A’yad al Islamiyah, Said bin Abdullah bin Thalib al Hamdani)
Hukum Mendirikan Shalat ‘Iedain
Para ‘ulama mutaakhirin berselisih faham mengenai hukum shalat ‘Iedain ini dalam tiga pendapat.
Pendapat pertama wajib. Yang bependapat demikian adalah Imam as Syaukani, Ibnul Qoyim, dll. seperti yang diterangkan Ibnul Qoyim dalam kitabnya : “Kitabus Shalah” menyatakan “wajib ‘ain” dengan alasan
-
Rasulullah saw. beserta para shahabat tidak pernah sekalipun meninggalkan shalat ini, dan tidak memberi Rukhshah seorangpun.
-
Selain itu Allah SWT pun memerintahkan langsung sebagaimana perintah shalat Jum’ah (QS. Al Kautsar : 108 : 2).
-
Rasulullah saw. memerintahkan umat Islam dengan perintah yang keras, bahkan sampai–sampai kepada para wanita yang haid sekalipun diperintahkan hadir ke tempat shalat, yang tidak punya baju harus dipinjami.
-
Ketika terlewatkan waktunya, maka pada hari esoknya Rasulullah saw. perintahkan para shahabat untuk mendirikan shalat ini.
-
Shalat Id dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum’ah, apabila kebetulan ‘Ied jatuh pada hari Jum’ah, shalat ‘Ied kedudukannya sama dengan Jum’ah.
-
Andaikata shalat ‘Iedain ini sunnah, pastilah tidak sedemikian kedudukan serta kerasnya perintah Rasulullah saw.
Adapun hadits Thalhah bin ‘Ubaidilah :
خمس صلوات كتبهن الله على العبد فى اليوم واليلة. (البخارى)
“ … Lima shalat telah difardlukan Allah atas seorang hamba dalam satu hari satu malam …” (al Bukhary)
Hadits ini bukan pembatas, bahwa selain lima shalat itu tidak ada lagi shalat fardlu yang lain. Shalat lima waktu adalah fardlu harian, Shalat Jum’ah adalah shalat fardlu juga, tetapi sifatnya mingguan, Shalat ‘Iedain adalah shalat fardlu tahunan, Shalat mayit (Janazah) juga wajib kalau ada orang Islam yang meninggal dunia dan seterusnya.
Shalat-shalat wajib tersebut toh tidak disebutkan dalam hadits Thalhah tadi, tetapi diperintahkan dalam ayat dan hadits lain. (al Ahkam, IV, V, Hasby Ashidiqqi, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, XXIV, 179-183, Kitabus Sholah, Ibnul Qoyim)
Pendapat kedua Sunnah Muakkadah. Menurut sebagian ‘ulama shalat ‘Iedain ini hukumnya sunnah muakkadah; alasan yang dipakai adalah hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah tersebut di atas.
Pendapat ketiga Fardlu Kifayah, Karena seperti shalat janazah, tidak ada adzan & iqomah. (Imam Syafi’ie)
Tata Cara Mendirikan Shalat ‘Iedain
Mandi dan berpakaian yang bagus serta pakai wangi-wangian.
قال النّبىّ ص م. يامعْسر الْمسْلميْن انّ هذا يوْمٌ جعله اللهُ تعالى عيْدا فاغْسلوْا. (رواه مالك)
“Sabda Nabi saw. “Wahai kaum muslimin, hari ini adalah salah satu hari yang Allah Ta’ala jadikan sebagai hari Raya, karena itu hendaklah kalian mandi – sebelum shalat”. (HR. Malik)
Catatan : Hadits ini meskipun menunjuk hari Jum’ah, tetapi karena hari Jum’ah merupakan hari Raya – mingguan – maka pada hari Raya yang lain – ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-ha – juga disunahkan untuk mandi.
أمرنا رسوْل الله ص م. فى الْعيْديْن انْ نلْبس أجْود مانجد وأنْ نتطيّب بأجْود مانجد وانْ نضحىّ بأثْمن ما نجد. (رواه الحاكم)
“Rasulullah saw. memerintahkan kepada kita agar pada hari-hari Raya mengenakan pakaian yang terbagus yang ada, memakai wangi-wangian yang terbaik, dan berkurban dengan hewan paling bagus.” (HR. al Hakim)
Makan sebelum shalat ‘Iedul Fithri dan imsyak buat ‘Iedul Adh-ha
وعن بريدة قال كان النبى ص م. لايغدو يوم الفطر حتى يأكل ولا يأكل يوم الأضحى حتى يرجع. (رواه الدرقطنى وابن ماجة والترمذى)
“Dan dari Buraidah ia berkata : “Bahwasanya Nabi saw. tidak pergi shalat ‘Iedul Fithri sehingga beliau makan terlebih dahulu. Tetapi untuk ‘Iedul Adh-ha beliau tidak makan kecuali setelah pulang dari shalat ‘Iedul Adh-ha.” (HR. Daruquthny, Ibnu Majah, Tirmidy)
Melalui jalan yang berbeda, diutamakan dengan berjalan kaki
عن أبى هريرة قال : كان النّبىّ ص م. اذا خرج الى العيد يرجع فى غير الطّريق الّذى خرج فيه. (رواه احمد ومسلم والترمذى)
“Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata : “Bahwasanya Nabi saw. apabila beliau keluar menuju shalat ‘Ied, pulangnya lewat jalan lain, bukan yang dilewati tadi ketika berangkat.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzy)
Tempat shalat lebih utama di lapangan
Menurut hadits dan riwayat shahabat, Rasulullah saw. senantiasa shalat ‘Ied di “Mushalla”, beliau dan para shahabat tidak ada keterangan pernah melaksanakan shalat ‘Ied di Masjid, Mushalla di maksud adalah lapangan yang terletak di depan gerbang masjid Madinah, kurang lebih 1000 hasta (+ 500 m) dari masjid.
المصلّى موضعٌ بباب المدينة الشّرقيّة. (فقه السنه)
“Mushalla dimaksud adalah suatu tempat di dekat pintu gerbang masjid Madinah sebelah timur.” (Fiqhus Sunnah)
المصلّى موضعٌ بينه وبين المسجد الف ذراع. (فقه السنه)
“Mushalla itu suatu tempat – tanah kosong – antara 1000 hasta (+ 500 m) dari masjid Madinah.” (Fiqhus Sunnah)
Hal ini dimaksud sebagai syi’ar semaraknya Islam, dan wanita-wanita yang berhalangan pun bisa menghadiri sidang upacara shalat ‘Ied, walaupun mereka tidak ikut shalat.
Tetapi tidak ada larangan shalat ‘Ied di Masjid terutama kalau hujan (halangan) ; apalagi di Masjidil Haram. (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqalani, Fiqhus Sunnah, Sayid Syabiq)
عنْ أبى هريْرة أنّهمْ أصابهمْ مطرٌ فى يوْم عيْد فصلّى بهم النّبىّ ص م. صلاة الْعيْد فى الْمسْجد. (رواه ابوداود وابن ماجه، حديث ضعيف)
“Dari Abu Hurairah bahwasanya pada suatu hari Raya mereka kehujanan, maka Nabi saw. bersama mereka – shahabat shalat ‘Ied di Masjid.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah – hadits dloief)
Waktu shalat ‘Ied
Untuk shalat ‘Iedul Adha labih pagi daripada shalat ‘Iedul Fithri
قال جنْدب كان النّبىّ ص م. يصلىّ بنا يوْم الْفطْر والشّمْس على قيْد رمْحيْن واْلأضْحى على قيْد رمْح. (رواه احمد بن حسن البنا)
“Berkata Jundab, “Bahwasanya Nabi saw. shalat ‘Iedul Fithri bersama kami pada waktu matahari tingginya kira-kira dua batang tombak, sedangkan untuk shalat ‘Iedul Adh-ha, pada saat matahri tingginya kira-kira sekedar satu batang tombak.” (HR Ahmad bin Hasan al Banna).
وللشّافعىْ … انْ عجّل اْلأضْحى وأخّر الْفطْر.
“Dan menurut Imam as Syafi’ie … hendaknya menyegerakan shalat ‘Iedul Adh-ha dan mengakhirkan/melambatkan ‘Iedul Fithri.”
Shalat sebelum khutbah, tanpa adzan dan iqamah
عن ابن عمر قال : كان رسول الله ص م. وابو بكر وعمر يصلّون العيدين قبل الخطبة. (رواه الجماعة الا ابوداود)
“Dari Ibnu Umar (Abdullah bin Umar) katanya : “Adalah Rasulullah saw. , Abu Bakar, ‘Umar, mereka shalat ‘Iedain sebelum khutbah.” (HR Jama’ah)
وعن جابربن سمرة قال : صلّيت مع النّبىّ ص م. العيد غير مرّة ولا مرّتين بغير أذن ولا إقامة. (رواه أحمد ومسلم وابوداود والترمذى)
“Dan dari Jabir bin Samurah ia berkata : “Aku telah shalat ‘Ied bersama Nabi saw. tidak hanya satu dua kali, tanpa adzan dan tanpa iqomah.” (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzy).
Tidak ada shalat sebelum dan sesudahnya
عن ابن عبّاس قال : خرج النّبىّ ص م. يوم عيد فصلّى ركعتين، لم يصلّ قبلها ولا بعد هما. (رواه الجماعه)
“Dari Ibnu Abbas ia berkata : “Nabi saw. keluar pada hari Raya (‘Ied) kemudian beliau shalat ‘Ied dua raka’at beliau tidak shalat sebelum maupun sesudahnya.” (HR Jama’ah).
Takbir dalam shalat ‘Iedain
Bilangan takbir dalam shalat ‘Iedain menurut para Fuqaha dan ‘Ulama banyak perbedaan pendapat, bahkan sampai + 10 macam, namun yang paling kuat serta pada umumnya adalah :
7 X (kali) takbir pada raka’at pertama, selain takbiratul ihram dan
5 X (kali) takbir pada raka’at kedua selain takbir intiqal.
Disela-sela takbir tidak ada bacaan apapun; adapun bacaan tahlil, tahmid dan takbir di sela-sela antara takbir satu dengan yang lainya, sama sekali tidak ada tuntunan dari Rasulullah saw.
وعنْ عمْروبْن عوْف الْمزنّى أنّ النّبىّ ص م. كبّر فى الْعيْديْن فى اْلأوْلى سبْعا قبْل الْقراءة وفى الثّانية خمْسا قبْل الْقراءة. (رواه الترمذى). وقال هو أحْسن شيْئ فى هذا الْباب عن النّبىّ ص م. (رواه ابن ماجه). ولم يذكر القراءة.
“Dan dari ‘Amr bin ‘Auf al Muzani, bahwa Nabi saw. dalam shalat dua hari Raya itu, bertakbir 7 kali pada raka’at pertama sebelum membaca al Fatihah, dan 5 kali pada raka’at kedua sebelum membaca al Fatihah; HR Tirmidzy, dan dia mengatakan, “Ini sebaik-baik hadits dari Nabi saw. dalam bab ini. Dan menurut riwayat Ibnu Majah, dia tidak menyebutkan “sebelum qiro’ah”.
Hari Raya Bertepatan Pada Hari Jum’ah
Bagi yang sudah shalat ‘Ied, boleh tidak shalat Jum’ah, tetapi jika shalat jum’ah pun lebih utama.
قال النّبىّ ص م. إجْتمع فى يوْمكمْ هذا عيْدان، فمنْ شاء أجْزأه من الْجمْعة وانّا مُجَمِّعُوْنَ. (رواه ابوداود وابن كاجه)
“Telah bersabda Nabi saw. “Telah berkumpul pada hari ini dua hari Raya (Jum’ah dan ‘Iedul Fithri) maka barang siapa mau cukuplah shalat ini (Fithri) baginya, tidak perlu lagi shalat Jum’ah, tetapi kami tetap akan mendirikan Jum’ah.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah).
Kuajiban Wanita Menghadiri Jama’ah ‘Iedain
قالتْ أمّ عطيّة رع. أمرنا رسوْل الله ص م. انْ نخْرج فى الْفطْر واْلأضْحى الْعواتق والْحيّض وذوات الْخدوْر. فأمّا لْخيّض فيعْتزلْن الصّلاة ويشْهدْن الْخيْر ودعْوة الْمسْلميْن. (رواه البخارى و مسلم)
“Berkata Umu ‘Athiyah : “Kami para wanita diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk membawa keluar semua perempuan termasuk yang sedang haid, yang masih gadis, pingitan, pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-ha. Adapun yang sedang haid memisahkan diri tidak shalat, mereka menyaksikan kebajikan dan seruan kaum muslimin.” (HR al Bukhary dan Muslim).
Khutbah ‘Iedain; Kedudukan khutbah
Khutbah ‘Iedain ini sama kedudukannya dengan khutbah di hari Jum’ah. Perbedaanya khutbah Jum’ah dilaksanakan sebelum shalat dan ada istirahat/duduk sebentar antara dua khutbah. Sedangkan khutbah ‘Iedain dilaksanakan sesdudah shalat, tanpa istirahat (duduk).
عنْ أبى سعيْد قال : كان النّبىّ ص م. يخْرج يوْم الْفطْر واْلأضْحى الى الْمصلّى واوّل شيْئ يبْدأ به الصّلاة ثمّ ينْصرف فيقوْم مقابل النّاس والنّاس جلوْسٌ على صفوْفهم فيعظهم ويوصيهم ويأمرهم، وان كان يريد أن يقطع بعثا أو يأمر بشيئ أمربه ثمّ ينصرف. (متفق عليه)
“Dari Abu Sa’ied ia berkata, “Adalah Nabi saw. keluar menuju mushalla ketika ‘Iedul Fithri dan Adha, yang mula-mula beliau kerjakan adalah shalat ‘Ied. Setelah itu beliau berdiri menghadap kepada orang banyak, sementara mereka duduk di shaf masing-masing. Beliau memberikan amanat, nasihat dan mengeluarkan perintah. Apabila beliau bermaksud mengirim pasukan ke suatu tempat, atau ada hal-hal yang penting, maka di ketika itulah beliau memerintahkannya setelah itu beliau pulang.” (Muttafaq ‘alaih).
Pembuka / Awal Khutbah
Rasulullah saw. selalu memulai segala khutbahnya dengan “hamdalah”, baik khutbah Jum’ah, ‘Iedain dan istisqa’. Khutbah ‘Iedain yang dimulai dengan “takbir” 9 X (kali) atau 7 X (kali), sama sekali tidak ada dasarnya, bahkan menyalahi kebiasaan (sunnah Rasulullah saw. , karena beliau selalu memulai khutbah ‘Ied dengan hamdalah)
Ibnul Qoyim, Syeikhul Islam Taqiyuddin menyatakan bahwa memulai khutbah dengan takbir, istighfar, tidak ada dasarnya sama sekali, Rasulullah saw. bersabda :
كلّ أمْر ذىْبال لا يبْدأ فيْه بالْحمْد لله فهو أجْذمٌ. (رواه ابوداود)
“Tiap-tiap sesuatu hal yang penting yang tidak di mulai dengan “alhamdulillaah” maka ia terputus.” (HR Abu Dawud).
Demikian pula mengakhiri khutbah selalu dengan kalimat yang dibakukan dan seolah menjadi keharusan yaitu :
انّ اللهَ يأمركمْ بالْعدْل واْلاحْسان … ولذكْر اللهُ اكْبرْ.
Hal ini tidak ada tuntunannya, contoh dari Rasul dan shahabat, adalah dimulai dengan hamdalah dan diakhiri dengan hamdalah pula. (Al Ahkam; Hasby Ashiddiqy; Fiqhus Sunnah, Sayid Syabiq)
‘Udzur Shalat Berjama’ah di Lapangan
Shalat ‘Ied sama dengan shalat-shalat fardlu yang lain. Sempurnanya harus dikerjakan dengan berjamaah di lapangan/mushalla, dengan khutbah dan lain-lain. Tetapi jika ada ‘udzur syar’ie, sehingga terpaksa tidak bisa berjamaah di lapangan; shalat tetap harus dilaksanakan semaksimal kemampuan kita dimanapun kita berada, berjama’ah dua atau tiga orang ataupun munfarid, dua raka’at, 7 kali takbir di raka’at pertama dan 5 kali takbir di raka’at kedua seperti biasa.
Jangan hendaknya jika tidak dapat melaksanakan dengan sempurna lalu tidak shalat. Dalam keadaan apapun dan dimanapun shalat harus didirikan semaksimal kemampuan kita.
” … واذا أمرْ تكمْ بشيْئ فأتوْا ماسْتطعْتمْ … “
“… dan jika kamu diperintahkan sesuatu urusan, maka penuhilah semaksimal kemampuanmu …”
Juga hadits dari ‘Umar bin Khattab Ra. Sebagai berikut :
صلاة السّفر ركْعتان وصلاة اْلأضْحى ركْعتان وصلاة الْفطْر ركْعتان وصلاة الْجمْعة ركْعتان تمام غيْرقصْر على لسان محمّد ص م. (رواه النسائ)
“Shalat safar itu dua raka’at, shalat Adh-ha dua raka’at, shalat Fithri dua raka’at dan shalat Jum’ah dua raka’at, sempurna (asli) bukan diringkas, demikian itu perintah Allah lewat lisan Muhammad saw. (HR An Nasaai)
Demikian juga para wanita, dan siapa saja yang tidak bisa berjama’ah ke lapangan/mushalla, baginya tetap harus shalat, baik jama’ah atau “munfarid”, karena ‘Iedul Fithri dan Adh-ha adalah hari Raya kita umat Islam.
قال النّبىّ ص م. هذا عيْدنا أهْل اْلإسْلام. (رواه البخارى)
“Sabda Nabi saw. “’Iedul Fithri, Adh-ha – ini adalah hari Raya kita umat Islam seluruhnya.” (HR. al Bukhary)
انّ رسوْل الله ص م. لمّاقدم الْمديْنة جمع نساء اْلأنْصار فى بيْت. ثمّ أرْسل إليْهنّ عمربْن الْخطاب فقام على الْباب فسلّم عليْهنّ. فرددْن السّلام فقال. أنا رسوْل رسوْل الله ص م. اليْكنّ وأمر ان نخْرج فى الْعيْديْن الْحيّض والْعنّق ونهيْنا عن اتّباع الْجنائز ولا جمعة عليْها. (رواه ابوداود عن ام عطية رع فى مجمع الزوائد)
“Bahwasanya Rasulullah saw. telah mengumpulkan seluruh perempuan Anshar di suatu rumah, kemudian beliau mengutus ‘Umar kepada mereka, Umar berdiri di depan pintu dan memberi salam, lalu mereka menjawabnya kemudian Umar berkata : “Aku ini utusan Rasulullah saw. kepada kalian, Beliau menyuruh kami untuk membawa keluar pada dua hari Raya seluruh perempuan, yang sedang haid, serta yang masih gadis. Beliau mencegah untuk mengiringi janazah, dan tidak perlu berjama’ah Jum’ah atas mereka.” (HR Abu Dawud dari Ummu ‘Athiyah – Majma’az Zawaid).
عنْ علىّ بْن أبى طالب وابوْ بكْر الصّديْق قال : حقٌّ على النّساء الْخروْج الى الْعيْد. (رواه ابو شعبة)
“Dari ‘Aly bin Abu Thalib dan Abu Bakar As Shiddiqi, beliau berkata : “Wajib atas tiap-tiap wanita pergi ke tempat shalat ‘Ied.” (HR Ibnu Abu Syu’bah” (Al Ahkam, IV, V, Hasby As Shiddiqi, Bulughul Maram, Ibnu Hajar al Atsqolany)
Bertakbir Pada hari Raya: Lafadz takbir
Mengenai lafadz takbir ini bermacam riwayat, tetapi yang dipandang paling shah adalah yang diterima dari Umar bin Khattab dan Abdullah bin Mas’ud sebagai berikut :
عن ابْن مسْعوْد عنْ عمرابْن الْخطَّاب رع. قال : اللهُ أكْبر اللهُ أكْبر، لااله الاّاللهُ واللهُ أكْبر اللهُ أكْبر ولله الْحمْد. (رواه عبد الرزاق عن سلمان)
“Dari Ibnu Mas’ud dari ‘Umar bin Khattab, menyatakan lafadz takbir sebagai berikut : … اَللهُ اَكْبَرُ … dst …
Yang artinya : Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan bagi Allahlah segala puji.” (HR Abd Rozak dari Salman al Farisy)
Waktu dan tempat bertakbir
Kapan dimulainya takbir dan kapan di akhiri, juga berbeda pendapat para ‘ulama. Memang tidak ada ketegasan dalam hal ini. Ayatnya hanya perintah untuk mengagungkan (takbir) Allah, hadits-hadits dari Nabi juga tidak ada yang mutawatir/shahih.
قال الله تعال : ولتكْملوْا الْعدّة ولتكبّروْا الله على ما هداكمْ ولعلّكمْ تشْكروْن. (البقرة : 185)
Firman Allah : “Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasa serta bertakbirlah (agungkanlah Allah) atas petunjuk yang telah diberikan kepada kamu; yang demikian itu agar kamu bersukur.” (QS. Al Baqarah 2 : 185)
Jumhur ‘ulama berpendapat bahwa dimulainya takbir ‘Iedain ialah mulai ba’da shalat shubuh ketika berangkat menuju tempat shalat ‘Ied, sampai dimulainya shalat/khutbah.
Pendapat inilah yang dianggap paling kuat, dengan berdasarkan beberapa hadits berikut :
عنْ نافع موْلىابْن عمر قال : انّ ابْن عمر رع. كان اذا غدا الى الْمصلّى كبّر فرفع صوْته بالتّكْبيْر. (رواه الشافعى فى المنتقى : II/37)
“Dari Nafi’ pembantu Ibnu ‘Umar menerangkan, “Sesungguhnya Ibnu ‘Umar ra. Dikala pergi berangkat ke mushalla di hari Raya ‘Ied – beliau bertakbir dengan mengeraskan suaranya.” (HR As Syafi’i, dalam al Muntaqa II/37).
قال الزّهيْرى، كان النّبىّ ص م. يحْرج يوْم الْفطْر فيكبّر منْ حيْن يخْرج منْ بيْته حتّى يأتى الْمصلّى. (رواه ابوبكر، حديث مرسل)
“Telah berkata az Zuhairy, “Bahwasanya Nabi saw. keluar untuk shalat ‘Iedul Fithri, beliau takbir mulai keluar dari rumahnya sehingga sampai ditempat shalat.” (HR Abu Bakar, hadits mursal).
قال ابْن عمر أنّ النّبىّ ص م. كان يرْفع صوْته بالتّكْبيْر والتّهْليْل حيْن خروْجه الى الْعيْد يوْم الْفطْر حتّى يأتى الْمصلّى. (رواه البيهقى والحاكم، حديث موقوف)
“Telah berkata Ibnu ‘Umar ra,. “Bahwasanya Nabi sa. Mengeraskan suara beliau ketika takbir dan tahlil semenjak keluar dari rumah beliau – menuju shalat ‘Ied Fithri – sampai ketika beliau sampai di mushalla.” (HR. al Baihaqy, Hakim, hadits mauquf)
قالتْ امّ عطيّة، كنّا نؤْمر انْ نخْرج الْحيّض فيكبّرْن بتكْبيْرهمْ. (رواه البخارى)
“Telah berkata Ummu ‘Athiyah, “Kita diperintah Rasulullah saw. supaya membawa keluar wanita-wanita yang sedang haid – lalu kami bertakbir bersama-sama orang banyak.” (HR al Bukhary).
Keterangan :
Dari beberapa keterangan af’al shahabat dan hadits-hadits tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa, takbir pada hari Raya ‘Iedul Fithri dan Adha, dimulai sejak ba’da subuh – berangkat ke mushalla/lapangan – tengah-tengah lapangan menunggu imam sampai berdiri shalat/khutbah.
Shalat Pada Esok Harinya
Jika shalat ‘Ied terlewatkan waktunya, karena sesuatu hal (mendung umpamanya) dan baru diketahui sesudah lewat waktunya (sore hari umpamanya) maka shalat ‘Ied tetap dilaksanakan, tetapi pada esok harinya.
عنْ أبى عميْرابْن أنس عنْ عموْمة من اْلأنْصار قالوْا، غمّ عليْنا هلال شوّال، فأصْبحْنا صياما فجاء ركْبٌ منْ آخر النّهار فشهدوْا عنْد رسوْل اللهِ ص م. أنّهمْ رأوالْهلال بلأمْس، فأمر النّاس أنْ يفْطروْا منْ يوْمهمْ وأنْ يخْرجوْا لعيْدهمْ من الْغدّ. (رواه الخمسة الا الترمذى)
“Dari Abu ‘Umair bin Anas, dari salah satu bibinya dari golongan Anshar, mereka berkata : “Pernah tanggal satu syawal tertutup awan, kemudian paginya kami masih berpuasa. Kemudian datanglah serombongan pedagang pada siang harinya, lalu mereka bersumpah di hadapan Rasulullah saw. menyampaikan bahwa kemarinnya mereka telah melihat hilal, maka Rasulullah saw. memerintahkan manusia agar berbuka pada hari itu juga, dan perintah untuk shalat ‘Ied pada esok harinya.” (HR Imam Lima)
Bergembira, Banyak Shadaqah di Hari ‘Ied
Mengadakan perayaan, permainan dan bergembira ria yang tidak menyimpang dan tidak melanggar syar’ie, sebagai uangkapan syukur dan syiar Islam di hari ‘Iedul Fithri dan Adh-ha diperbolehkan.
عنْ عائشة قالتْ : إنّ الْحبشة كانوْا يلْعبوْن عنْد رسوْل اللهِ ص م. فى يوْم عيْد فأطّلعْت منْ فوْق عاتقه حتّى شبعْت ثمّ انْصرفْت. (رواه احمد والبخارى ومسلم)
“Dari ‘Aisyah Rah. Katanya : “Orang-orang Habsyi suka mengadakan permainan di hadapan Rasulullah saw. pada hari raya. Dan sayapun melihatnya dengan mendongakkan kepala saya di atas pundak beliau dan beliaupun merendahkan kedua bahunya, hingga saya menyaksikan permainan itu dari atas bahu beliau, saya melihatnya sampai puas, setelah itu saya pulang.” (HR Ahmad, Bukhary, Muslim).
Tahniah (Ucapan) ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-ha
Para shahabat Rasulullah saw. apabila mereka bertemu pada hari Raya ‘Iedain (Fithri dan Adh-ha) mereka saling mengucapkan tahniah :
” تقبّل اللهُ منّا ومنْكمْ “
Hal ini sesuai dengan hadits riwayat shahabat Jubair bin Nufair sebagai berikut :
كان أصْحاب رسوْل اللهِ ص م. إذا تلقّوْا يوْم الْعيْد يقوْل بعْضهمْ لبعْض ” تقبّل اللهُ منّا ومنْكمْ “. رواه جبير بن نفير)
“Adalah para shahabat Rasulullah saw. apabila mereka bertemu pada hari Raya (‘Iedul Fithri & Adh-ha) satu dengan yang lain saling mengucapkan : taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima segala amalan kami dan amalan-amalan kamu sekalian). (HR Jubair bin Nufair)
Catatan :
Sayangnya sunnah yang bagus ini, saat ini banyak dilupakan dan ditinggalkan oleh sebagian besar umat Islam sendiri. Kemudian diganti dengan ucapan-ucapan “bid’ah” yang tidak diketahui dari mana asal muasalnya. Sehingga dengan menghidup-hidupkan yang “bid’ah”, akan menutup yang sunnah, dan tidak menutup kemungkinan lama kelamaan sunnah yang bagus itu akan hilang. “… na’udzubillaah …”
Rujukan :
Ar Raudlah an Nadiyah, Imam As Syaukani
Kitabus Sholah, Imam Ibnul Qoyim
Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah XXIV
Subulus Salaam, II, As Shan’any
Mukhtashor Ikhtilaf al ‘Ulama, Imam At Thohawi
Al Ahkam, Hasby As Shiddiqy
والله اعلم
Tinggalkan komentar